Dari hasil wawancara peneliti terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor yang paling dominan terhadap adanya prostitusi adalah karena faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%; sedangkan faktor lainnya adalah faktor putus cinta sebanyak 20%, faktor lingkungan 15%, faktor hasrat seks 10% dan dikarenakan tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak 10%.
Dengan demikian, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap prostitusi. Faktor ekonomi ini secara operasionalnya adalah susah mendapatkan pekerjaan di Ibukota dengan bekal pendidikan yang minim sedangkan kebutuhan terhadap “bertahan hidup” merupakan sesuatu yang urgen, maka kebanyakan dari wanita yang dikarenakan desakan ekonomi yang kuat mendorong mereka untuk menjalani hidup sebagai “wanita malam”.
Data desa Pondok Udik ini adalah sekumpulan keterangan yang di peroleh secara langsung dari sumbernya yang dapat memberikan gambaran tentang potensi dan permasalahan wilayah. Dimaksud sebagai catatan data yang menunjukan keberadaan sesuai karakter desa, yaitu: gambaran tentang potensi dan problematika yang dihadapi, baik yang bersumber dari keadaan menurut karakter desa maupun yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pembangunan itu sendiri. Bentuk dan muatan isi data ini bersifat daftar pertanyaan yang di wujudkan dengan angka angka.
Data profil Desa diperoleh dari sumber aslinya sebagai hasil pencatatan (regestrasi) ditingkat Dusun, Lingkungan, RW, RT. Di samping itu, data ini juga bersumber dari keadaan/fakta karakter desa yang diperoleh dari hasil penghitungan dan pengukuran yang dilakukan baik dari aparat pemerintah desa atau kelurahan sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak instansi tingkat atasan desa/kelurahan dan pihak responden di wilayah desa Pondok Udik Kec kemang Jl Raya parung Bogor. Data yang dilampirkan berguna untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan sebagai pelengkap skripsi
Kebutuhan untuk mengkondisikan instink dan dorongan seks merupakan kebutuhan alami yang dipupuk dan diperhatikan. Kebutuhan kepribadian yang harmonis mendorong interaksi yang sehat antara sesama manusia dan pribadi yang berimbang lahir batin, adalah stabil secara emosional dan kompeten untuk mencapai harmoni dan kedamaian sosial.
Perempuan Parung Bogor tepatnya di desa Pondok Udik, pada umumnya yang berpendidikan di bawah standard. Minim sekali dari mereka yang lulusan universitas. Kecuali mereka yang cenderung memiliki hobi memasak dan mengasuh anak, pada waktu luang, kegiatan yang mereka lakukan adalah berdandan, arisan kecil-kecilan layaknya ibu-ibu pondok indah, bergosip, bahkan kegemaran berhubungan seks. Karena tidak ada yang mereka kerjakan, sebagai konpensasi dari itu semua mereka mengidentifikasikan dan mencari pemuasan diri melalui apa yang mereka miliki.
Mereka tak ubahnya ibarat konsumen bangsa ini, manajer keluarga inti yang berkonsumsi. Pola ini menunjukkan posisi status dan kelas mereka sebagai potensi yang laku di pasaran dan murah. Para pelacur-pelacur ini direndahkan sebagai orang penyimpang amoral, patologis. Penilaian yang berlaku untuk sementara mengatakan bahwa mereka sebenarnya melakukan pilihan yang rasional dalam menanggapi prospek ekonomi, dan dalam menjual tubuh mereka sebagai obyek dagangan mengeploitasi sistem kapitalis untuk tujuan mereka sendiri.
Uang yang diperoleh untuk pemuasan aspirasi aspirasi konsumeris yang tidak mereka dapatkan dengan cara lain, karena pelacuran menawarkan alternatif terhadap ideologi yang patriakal moralistik. Penindasan seksual dan kerja pabrik yang eksploitatif tidak membenarkan kesempatan pada mereka untuk “berhasil”. Prospek mereka jauh lebih baik dari pedagang. Mereka menjual diri untuk ikut berkongsi dalam sistem, meskipun sifatnya temporal.
“Gadis baik-baik” dalam kaca mata penerimaan sosial pada umumnya adalah mereka yang bekerja di rumah atau di tempat lain dalam instansi instansi terkait, menerima norma-norma sosial dan penindasan sosial. Mereka tidak minum minuman keras atau merokok, tidak pergi ketempat tempat yang dianggap cela oleh masyarakat, atau masih di luar rumah pada pukul 11 malam. Akan tetapi sebaliknya, dengan meningkatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, maka sering timbulnya jalan alternatif yang relatif singkat dengan melakukan pelacuran kecil-kecilan, pergi ke diskotik, kumpul bareng dalam satu ruangan mengunakan narkoba, sabu-sabu, putaw, minuman hard drink, dan berbagai obat penenang lainnya yang dianggap sebagai solusi.
Gadis desa yang ambil bagian dari “drama sosial” ini tidak kalah menariknya dari gadis gadis kota. Padahal kehidupan sehari hari di kampung adalah strategis untuk bertahan hidup, berlawanan dengan “mitos marginalitas”, yang menganggap bahwa kampung adalah lingkungan liar, menjijikan dan kotor bahkan tidak mempunyai pendidikan “moral”. Mereka (gadis yang datang dari desa) tidak serta merta datang dan ikut dalam permainan seks tersebut, melainkan ada efek sosial yang menjanjikan impian material dan hidup layaknya gadis-gadis sinetron.
Gadis desa salah satu sasaran empuk oleh orang orang yang menganggap dirinya sebagai germo, dengan embel-embel pekerjaan untuk hidup di kota dan menambah uang belanja di kampung serta membantu kesulitan keluarga.
Kisah tentang orang miskin jadi kaya dan orang kaya jatuh miskin dan pelacur yang selalu siap melayani tamunya di setiap matahari memejamkan sinarnya hampir mengkarikaturkan berjalannya sistem kelas yang baru di Parung. Gadis Parung cenderung mengepresikan tingkat alienasi yang dikombinasikan dengan keinginan akan uang dan kepemilikan akan materi.
Gadis-gadis Parung yang peneliti temui, khususnya di warung remang-remang, tidak semuanya menjual jasa dari tubuh mereka. Ada juga yang cuma menemani minum para lelaki yang datang guna menambah uang belanja keluarga dan sebagai penarik pelanggan datang. Gadis yang berspekulasi untuk mendapatkan pekerjaan tidak semuanya bernasib baik. Warung remang adalah alternatif satu satunya yang dapat memberikan mereka kemudahan untuk mendapatkan uang. Bagaimana tidak, cara transaksi yang dilakukan oleh para gadis sangatlah tidak sesuai dengan keadaan diluar atau pasaran. Jika para tamu meminum minuman di warung tersebut lebih mahal harganya ketimbang minum di airport, itu wajar adanya, lantaran yang mahal bukan minumanya melainkan tempatnya. Menurut mereka, teh botol misalnya, harganya berkisar sampai 12 ribu rupiah. Jika seorang yang minum bir harganya pun lebih mahal dari biasanya dan mempunyai kebiasaan yang “curang”, yaitu ketika tamu yang sudah mabuk maka botol minuman ditambah diatas meja sehingga hitunganpun akan bertambah
Tinggalkan komentar